Berita & Tulisan pers tentang Joesoef Isak

= = =

 

Selamat Jalan Wartawan Pejuang

Koran Tempo, 19 Agustus 2009

Bonnie Triyana*

# Sejarawan-cum-wartawan. Sahabat muda Joesoef Isak. Bersama Max Lane
menyunting buku /Liber Amicorum: Persembahan buat 80 Tahun Joesoef Isak/

 

Awal 1978, dalam status tahanan kota, Joesoef menerima sepucuk surat
dari Markas Kopkamtib untuk meminta kesediaannya diwawancarai oleh empat
wartawan Amerika Serikat. Tapi, berhari-hari ditunggu, empat wartawan
itu tak kunjung datang. Joesoef penasaran. Ia nekat menyambangi Kedutaan
Besar AS untuk menanyakan kesahihan surat tersebut.

Ternyata surat salah info. Fred Cofey, Direktur USIS, mengatakan orang
yang ingin bertemu bukanlah wartawan melainkan Patricia Derien, Deputy
Secretary of State for Human Right sekaligus utusan pribadi Presiden
Jimmy Carter. Pada Sabtu, hari H pertemuan (Joesoef lupa tanggalnya),
Joesoef diminta menunggu Derien di kantor USIS. Pada saat yang sama
Derien, didampingi Duta Besar AS Edward Masters, sedang bertemu dengan
Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Pulang dari Istana, Derien langsung
menjumpai Joesoef. "You tell me everything! There is nothing to hide. In
fact I know all what happened here...," ujar Derien kepada Joesoef. Ia
meminta Derien membantu upaya pembebasan tahanan politik di Pulau Buru
dan beberapa tempat lain di Indonesia.

Beberapa bulan setelah pertemuan itu, pemerintah Soeharto pun
memulangkan para tahanan politik (tapol) secara bertahap hingga akhir
1979. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan wartawan Hasjim Rachman--kelak
bersama Joesoef mendirikan penerbit Hasta Mitra--adalah tapol terakhir
yang dibebaskan dari Pulau Buru. Trio pendiri Hasta Mitra itu kini telah
berpulang semua. Joesoef Isak wafat pada Sabtu (15 Agustus) pekan lalu
menyusul dua karibnya, Hasjim Rachman (wafat 1999) dan Pramoedya Ananta
Toer (wafat 2006).

Mantan pemimpin redaksi koran /Merdeka/ dan pernah jadi Sekretaris
Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika itu wafat tepat sebulan setelah
hari ulang tahunnya yang ke-81. Tahun lalu para sahabatnya
menyelenggarakan pesta ulang tahun Joesoef yang ke-80 di Teater Kecil,
Taman Ismail Marzuki. Ratusan undangan, dari aktivis, penulis, wartawan,
pengusaha, sampai mahasiswa, menghadiri hajatan tersebut. Joesoef pun
kelihatan cerah semringah. Namun, beberapa minggu setelah acara, kondisi
kesehatannya menurun. Keluarganya membawa dia ke Singapura untuk
memeriksakan kesehatannya.

Empat bulan sebelum wafat, ia mengatakan kepada saya bahwa kondisinya
mulai membaik setelah menjalani pengobatan alternatif. "Aku berobat ke
sinse di Gunung Sahari, Bung. Dia cuma tekan jempolku saja. Tokcer!
Sekarang aku bisa tidur nyenyak dan sesak napas agak mendingan,"
katanya. Obat mujarab lain baginya adalah kerja dan diskusi. Ia seakan
lupa akan sakitnya kalau sudah duduk di depan komputer dan tetap
melakukan pekerjaannya sebagai editor dan penulis. "Aku ini sehat kalau
banyak pekerjaan dan berdiskusi, Bung," katanya sambil terkekeh. Pada
usia berkepala delapan, ia masih sanggup menyunting naskah sekaligus
menulis kata pengantar untuk beberapa buku terbitan Hasta Mitra.

Lelaki kelahiran Kampung Ketapang, Jakarta Pusat, 15 Juli 1928, itu
adalah editor karya-karya maestro sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Ada
cerita menarik di balik penerbitan buku /Nyanyi Sunyi Seorang Bisu/
karya Pram. Awalnya Joesoef ragu menerbitkan naskah itu. "Jangankan yang
beginian, novel yang fiktif saja dibredel Orba," kata Joesoef. Hasjim
Rahman, yang biasanya selalu bilang "aku tidak takut pada Jaksa Agung",
kali itu pun ikutan /ngeper/ untuk menerbitkannya.

Joesoef tak kehilangan akal. Melalui sejarawan Henk Maier, buku itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda dengan
judul /Lied van Een Stomme/. Setelah terbit di sana, naskah baru terbit
dalam bahasa Indonesia dengan judul /Nyanyi Sunyi Seorang Bisu/. Tapi,
baru sepuluh hari terbit, Jaksa Agung langsung membredelnya. "Itu rekor
pembredelan tercepat. Biasanya sebulan," kenang Joesoef.

Buku terakhir yang sempat disuntingnya sebelum wafat adalah /Memoar Ang
Yan Goan/, pemimpin redaksi koran /Sin Po/. Ia juga menulis kata
pengantar buat buku itu. Sama seperti Joesoef, Yan Goan terkena imbas
pergolakan politik 1965 dan terpaksa menetap di Kanada bersama anaknya.
Joesoef ditahan di penjara Salemba selama sepuluh tahun (1967-1977) atas
tuduhan terlibat dalam peristiwa 1965. Sampai ia keluar dari penjara,
tuduhan tersebut tak pernah bisa dibuktikan, apalagi Joesoef belum
pernah disidangkan.

Kariernya sebagai wartawan bermula di /Berita Indonesia/, surat kabar
/republikein/ pertama yang didirikan oleh beberapa tokoh pers nasional,
antara lain S. Tahsin. Pada 1949, B.M. Diah membeli /Berita Indonesia/
dan menggabungkannya dengan koran /Merdeka/ yang berdiri pada 1 Oktober
1945. Otomatis ia pun jadi wartawan /Merdeka/ dan merintis karier di
sana sampai posisi pemimpin redaksi. Berhenti dari /Merdeka/, Joesoef
terpilih sebagai Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika.

Joesoef Isak terkenal sebagai sosok wartawan yang teguh memegang prinsip
kemerdekaan berpendapat. Ia punya banyak kawan diskusi, mulai wartawan,
aktivis, sampai pensiunan jenderal pun datang ke rumahnya untuk
berdiskusi. Joesoef bersahabat dengan siapa saja, tak peduli apa
ideologinya. Semasa hidupnya, ia berkawan dengan Soebadio Sastrosatomo
dan Adam Malik, dua tokoh bangsa yang punya keyakinan politik berbeda
dengan Joesoef.

Semasa hidupnya, ia selalu mewanti-wanti agar anak-anak muda tidak
melanjutkan konflik masa lalu. "Buat apa merelevankan konflik masa lalu?
Untuk membangun Indonesia, kita harus terus menatap ke depan. Jadikan
sejarah sebagai pelajaran," kata dia. Menurut dia, baik Soekarno, Hatta,
Sjahrir, maupun Tan Malaka sama-sama memiliki tujuan memajukan kehidupan
rakyat Indonesia walaupun mereka melakukan dengan jalannya
sendiri-sendiri. "Generasi muda harus melanjutkan kerja-kerja mereka,
buang keburukannya, ambil sisi positifnya," pesan dia.

Atas jasa-jasanya di dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat, ia
dianugerahi beberapa penghargaan internasional, antara lain Jeri Laber
Award (2004) dari International Freedom to Publish Committee, Amerika
Serikat. Lantas pada 2005 Joesoef, bersama Goenawan Mohamad, menerima
Wertheim Award dari Belanda, dan pada 2006 mendapat penghargaan
"Chevalier dans l'Ordre des Arts et des Lettres" dari pemerintah Prancis.

Tiga pekan lalu, kami masih berjumpa di Komunitas Utan Kayu dalam
diskusi dan peluncuran buku karya Soemarsono, /Revolusi Agustus/,
terbitan Hasta Mitra. Pertemuan berlanjut ketika saya menyambanginya dua
hari kemudian untuk membicarakan penerbitan buku /Banten Seabad Setelah
Multatuli/ karya Ir Djoko Sri Moeljono, di mana saya menulis kata
pengantarnya. Buku ini molor terbit sampai dua tahun dan kami berencana
mencetaknya pada September mendatang. Menurut rencana, saya harus
menemuinya lagi setelah 17 Agustus untuk mendiskusikan rencana teknis
percetakan buku itu.

Rencana tinggal rencana. Sabtu (15 Agustus) dinihari pukul 01:30, saya
ditelepon oleh Desantara, putra bungsu Joesoef Isak, mengabarkan bahwa
ayahnya telah tiada. Saya kaget, tak percaya Pak Ucup pergi begitu
mendadak, terlebih sehari sebelumnya ia masih sempat datang ke redaksi
majalah /Tempo/ untuk diwawancarai. Kerja belum selesai, belum apa-apa.
Tapi Pak Ucup sudah punya arti bagi bangsa Indonesia. Ia telah berjuang,
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Selamat jalan, Bung Joesoef Isak! *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/19/Opini/krn.20090819.174210.id.html
http://media-klaten.blogspot.com/
http://seizetheday-cloth.blogspot.com/

 

* * *

Joesoef Isak Meninggal Dunia

Kompas , 16 Agustus 2009

Jakarta, Kompas - Joesoef Isak (81), mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka dan salah seorang pendiri penerbit Hasta Mitra, meninggal dunia di kediamannya, Jalan Duren Tiga, Jakarta, Sabtu (15/8) sekitar pukul 01.30. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Sabtu siang.

”Bapak sebelumnya tidak mengeluh apa-apa,” kata Ny Budi Asni Isak, istri Joesoef Isak, yang dinikahinya tahun 1956.

Dilahirkan 15 Juli 1928, Joesoef Isak dikenal sebagai pribadi yang teguh dalam pendirian. Ia juga sangat antidiskriminasi, terlebih menyangkut masyarakat Tionghoa.

Dalam sebuah percakapan dengan Kompas dua bulan lalu, Joesoef Isak menyampaikan pentingnya mengambil sisi positif budaya masyarakat Tionghoa untuk melengkapi proses berbangsa dan membangun Indonesia.

Terkait sikap antidiskriminasi itu, karya terakhir Joesoef Isak yang belum diedarkan di toko buku adalah Memoir Ang Jang Goan (Ang Jan Goan/Hong Yuanyuan 洪淵源, 1894-1984―DK), seorang Tionghoa nasionalis Indonesia yang terpaksa menyingkir dari Indonesia karena tekanan rezim Orde Baru dan wafat di Kanada.

Ang Jang Goan adalah salah seorang pendiri rumah sakit terkemuka di Jakarta dan tokoh pers tiga zaman di Indonesia.

Dirikan penerbit buku

Di tengah kekuasaan Orde Baru, tahun 1980 Joesoef Isak mendirikan Penerbit Buku Hasta Mitra yang banyak menerbitkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.

Buku pertama yang diterbitkannya berjudul Bumi Manusia, yang kemudian dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru. Buku-buku yang diterbitkan selanjutnya juga dilarang beredar oleh pemerintah.

Namun, larangan tersebut tidak menyurutkan nyali dan langkah bapak tiga anak ini untuk terus menerbitkan buku.

Beberapa buku karya Pramoedya yang diterbitkannya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Perancis, dan Mandarin.

Perjuangannya yang panjang di bidang kemanusiaan mengantarkan Joesoef Isak mendapatkan Wertheim Award dari Belanda tahun 2005. Joesoef Isak dinilai telah berjuang bertahun- tahun untuk kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat.

Di bidang jurnalistik, Joesoef Isak sempat menjadi Pemimpin Redaksi Harian Merdeka. Ia juga pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jakarta (1959-1963) serta Sekjen Persatuan Wartawan Asia Afrika (PWAA) dan Wakil Presiden International Organization of Journalist (IOJ). (ONG/THY)

* * *

Tempo, Edisi. 22/XXXVII/21 - 27 Juli 2008

Joesoef Isak - Ditunjuk ’Pemimpin Besar Revolusi’


SEJAK di sekolah menngah epertama di Jalan Prapatan, Jakarta Pusat, saya sudah bisa menulis resensi musik dan film. Guru saya memuji tulisan itu. Dia meminta saya mengirimkannya ke surat kabar, tapi saya tidak pernah melakukannya—entah kenapa.


Persinggungan saya dengan dunia pers dimulai ketika saya bekerja di harian Berita Indonesia pada 1946. Ketika Jepang kalah oleh Sekutu, mereka diberi tugas tetap memelihara keamanan dan ketertiban. Pulau Jawa, yang dikuasai Angkatan Darat Jepang, mengeluarkan buletin berita Gunsei Kambu.
Untuk melawan penerbitan itu, para senior saya, Taslim dan Suardi Tasrif, mendirikan surat kabar Berita Indonesia. Orang yang membiayainya Zulkifli Lubis, ”bapak” intelijen di Indonesia. Ketika itu usia saya 17-18 tahun dan baru tamat dari Taman Dewasa, setingkat sekolah menengah atas, di Kemayoran, Jakarta Pusat.


Di sana saya tidak langsung menjadi wartawan, tapi memulai dari bawah sekali. Tugas saya di bagian dokumentasi, menerjemahkan berita-berita berbahasa Belanda yang penting untuk dimuat di Berita Indonesia. Kemudian saya menjadi korektor dan di bagian layout. Setelah itu, saya mulai menulis berita kriminal atau sepak bola. Zaman dulu tidak ada spesialisasi seperti wartawan sekarang.
Berita Indonesia merupakan koran yang paling sering di

redel Belanda. Ini membuat koran itu menjadi populer di kalangan para pejuang kemerdekaan. Apalagi revolusi bersenjata sudah dimulai.
Meski sering dibredel, surat kabar masih bisa terbit. Itu bedanya pembredelan di masa pemerintah Belanda dengan masa Soeharto. Belanda masih berpegang pada hukum. Kalau dibilang dua minggu, ya dibredel selama itu. Ada juga yang sampai sebulan, tapi waktunya jelas. Bukan ”digantung”, seperti di zaman Soeharto.
Pada 1949 Boerhanudin Mohammad Diah—yang ketika itu sudah memiliki Merdeka—membeli Berita Indonesia dan langsung menutupnya. Saya dan sebagian karyawan lain pindah ke Merdeka. Kendati lebih dulu berdiri, saya sayangkan Merdeka kalah bersaing dengan Kompas karena diurus dengan gaya warung. Tidak ada pendelegasian wewenang kepada orang di luar keluarga.


Pada 1956 saya menikah. Waktu itu B.M. Diah dan istrinya, Herawati, juga hadir. Resepsi pernikahan dilangsungkan di Gedung Pemuda, tempat berkumpulnya para pemuda. Sekarang tempat itu menjadi Gedung Mahkamah Agung.


Ketika memberikan ucapan selamat, B.M. Diah berbisik dalam bahasa Belanda: ”Soef, aku punya kado untukmu. Mulai hari ini aku angkat kau jadi managing editor.” Dulu, struktur redaksi sangat sederhana. Managing editor merupakan redaktur pertama atau wakil pemimpin redaksi. Jadi saya adalah wakil B.M. Diah! Ini suatu penghargaan, karena banyak senior di atas saya. Tapi B.M. Diah memilih saya.
Pada 1959 B.M. Diah diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di Cekoslowakia. Untuk pertama kali, dia terpaksa harus melepaskan jabatannya sebagai pemimpin redaksi. Padahal, dalam sejarah Merdeka, B.M. Diah tidak pernah melepaskan jabatan itu. Walaupun sudah tidak menulis editorial lagi, namanya tetap dicantumkan sebagai pendiri dan pemimpin redaksi.


Sekali lagi, B.M. Diah menunjuk saya sebagai pemimpin redaksi. Sewaktu bertemu dengan Bung Karno, cerita B.M. Diah kepada saya, dia ditanya siapa yang akan menggantikan posisinya? B.M. Diah menyebut nama saya. Bung Karno, yang belum mengenal saya, langsung berpesan agar saya memelihara Merdeka menjadi koran progresif-revolusioner. Kalau tidak bisa, Bung Karno akan memanggil Diah pulang kembali ke Indonesia.


B.M. Diah hanya tiga tahun di Praha, kemudian dia diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di Inggris. Waktu di London, dia rupanya dilapori, entah oleh siapa: saya makin lama makin membawa Merdeka ke arah kiri.
Mendapat laporan itu, B.M. Diah berpesan, ”Soef, kau tahu sendiri kan? Suluh Indonesia itu didukung Partai Nasional Indonesia, harian Rakyat didukung Partai Komunis Indonesia, Bintang Timur ada Partindo. Merdeka apa? Keringat kita sendiri. Jadi buat apa kita besar-besarkan Ali Sastroamidjojo, Roeslan Abdulgani, atau Soebandrio? Kalau menguntungkan, kita dukung, kalau tidak, buat apa?” Itu prinsip B.M. Diah. Merdeka mendapat label sebagai koran independen atau tengah.


Namun tekanan untuk memecat saya terus berkembang. Salah satunya dari direktur sebuah perusahaan negara. Pada masa nasionalisasi, banyak perusahaan Belanda jatuh ke tangan militer. Direktur salah satu perusahaan itu menawari B.M. Diah mesin cetak baru. Mereka cuma minta satu syarat: saya dikeluarkan.
Lantaran B.M. Diah sayang dan menganggap saya kadernya yang paling berhasil, dia tidak mau memecat saya. Ini yang mau saya luruskan. Saya tidak dipecat, tapi ”ditendang” ke atas. Saat itu Grup Merdeka punya percetakan, harian, majalah, dan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer.


Dia angkat saya menjadi direktur dari semuanya itu, tapi harus melepaskan jabatan Pemimpin Redaksi Merdeka. Namun saya menolak tawarannya dan tak pernah masuk kantor. Setelah berhenti dari Merdeka, saya berkonsentrasi penuh di organisasi Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Bagaimana bisa sampai terlibat di organisasi ini?
Pada 1949 organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berdiri di Yogyakarta. Pada 1959, saat masih menjadi Pemimpin Redaksi Merdeka, saya terpilih sebagai Ketua PWI Jakarta. Selain di PWI, saya menjadi anggota International Organization of Journalist, yang berpusat di Praha, Cekoslowakia.
Waktu itu ada dua organisasi wartawan. Satu lagi International Federation of Journalist yang berpusat di Brussel, Belgia. Pada 1962 ada kongres International Organization of Journalist di Budapest. Sebagai anggota, saya ke sana dan terpilih menjadi wakil presiden. Saat di Budapest itulah lahir ide untuk menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika.


Para wartawan Asia-Afrika, yang memanfaatkan sidang International Organization of Journalist, membuat pernyataan tertulis dan menandatangani kesepakatan rencana Konferensi Wartawan Asia-Afrika. Dokumen ini lalu saya bawa ke Jakarta. Tapi ide itu ditolak oleh orang PWI lainnya.
Jalan keluarnya muncul pada saat Presiden Rumania diundang ke Jakarta. Dulu banyak wartawan diangkat menjadi duta besar. Mulai Adam Malik, B.M. Diah, hingga Soekrisno dari Antara, yang menjadi Duta Besar Indonesia di Rumania. Karena Presiden Rumania mau datang, Soekrisno datang ke Jakarta untuk persiapan.
Soekrisno setiap waktu bisa ketemu dengan Soekarno, sedangkan kami dari PWI, yang dianggap kiri, susah menembus Istana. Ada ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko dan Sugandhi, yang kanan. Saya minta tolong Soekrisno membawa dokumen Konferensi Wartawan Asia-Afrika ke Bung Karno. Mungkin karena Soekrisno yang membawa, Bung Karno tahunya yang akan menyelenggarakan konferensi itu adalah PWI. Soekarno langsung tanda tangan dan PWI diminta melaksanakan sebaik-baiknya.


Akhirnya Konferensi Wartawan Asia-Afrika diselenggarakan di Jakarta pada 1963. Karena menjadi tuan rumah, saya yang saat itu menjadi Ketua PWI Jakarta menjadi ketua konferensi. Dalam konferensi diputuskan untuk membentuk Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Organisasi ini seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, dipimpin oleh sekretaris jenderal. Djawoto, yang saat itu Ketua PWI Pusat, menjabat posisi itu. Tapi baru beberapa bulan, ia diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di Cina, sehingga posisi itu lowong.
Waktu menghadap Soekarno, sekaligus melaporkan telah terbentuknya Persatuan Wartawan Asia-Afrika, Presiden bertanya siapa pengganti Djawoto. Disebutlah beberapa nama, tidak termasuk saya. Tapi Soekarno malah menunjuk saya: ”Joesoef saja.”


Secara prosedural, seharusnya PWI Pusat memilih ketua dan dialah yang menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Karena Pemimpin Besar Revolusi sudah menunjuk, siapa yang berani melawan? Padahal, kalau pakai istilah sekarang, penunjukan itu tidak konstitusional.